Uni Eropa, AS, dan Inggris Teken Perjanjian Internasional Atur AI

DigiTripX.id – Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), Inggris, serta beberapa negara lainnya resmi menandatangani perjanjian internasional pertama. Terkait regulasi Kecerdasan Buatan (AI), seperti yang di umumkan Dewan Eropa pada Kamis (5/9). Perjanjian ini akan memiliki kekuatan hukum dalam mengatur penggunaan sistem AI di berbagai sektor dunia.
Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, Marija Pejcinovic Buric, menekankan pentingnya perjanjian ini untuk memastikan bahwa perkembangan AI sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia. “Kita harus memastikan kebangkitan AI ini menjunjung tinggi standar kita, bukan malah melemahkannya,” kata Buric dalam pernyataan resminya. Ia juga menambahkan bahwa perjanjian ini merupakan “kesepakatan terbuka dengan potensi jangkauan global” dan mendesak lebih banyak negara untuk segera meratifikasi.
Perjanjian ini menyediakan kerangka hukum yang mengatur seluruh siklus pengembangan sistem AI, mulai dari penciptaan hingga implementasi. “Kesepakatan ini mendukung inovasi teknologi AI sembari mengelola risiko yang mungkin di timbulkan terhadap hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum,” tambah Buric.
Baca Juga : Fenomena Perundungan Pelajar di Indonesia
Selain UE, AS, dan Inggris, negara-negara seperti Andorra, Georgia, Islandia, Norwegia, Moldova, San Marino, dan Israel juga turut menandatangani perjanjian tersebut. Argentina, Australia, Kanada, Jepang, dan sejumlah negara lainnya juga terlibat dalam negosiasi.
Penandatanganan ini di lakukan di Vilnius, Lithuania, dalam konferensi para Menteri Kehakiman Dewan Eropa. Perjanjian ini hadir hanya beberapa bulan setelah Uni Eropa meresmikan Artificial Intelligence Act, yang bertujuan untuk mengatur penggunaan AI di sektor-sektor dengan risiko tinggi.
Namun, perjanjian ini juga menuai kekhawatiran dari sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO). Francesca Fanucci, ahli hukum dari European Center for Not-for-Profit Law (ECNL). Mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut memiliki kelemahan dalam formulasi prinsip-prinsip dan kewajiban yang terlalu umum. “Prinsip-prinsip yang di atur dalam konvensi ini sangat luas, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum dan efektivitas penegakannya,” ungkap Fanucci kepada Reuters.
Fanucci juga menyoroti pengecualian sistem AI untuk tujuan keamanan nasional. Serta minimnya pengawasan terhadap perusahaan swasta di bandingkan dengan sektor publik.
Dewan Eropa, yang berpusat di Strasbourg, Prancis, berperan sebagai lembaga yang mengawasi penegakan hak asasi manusia di Eropa. Organisasi ini terdiri dari 47 negara anggota, termasuk 27 negara anggota Uni Eropa.
Perjanjian ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan global yang di timbulkan oleh kemajuan teknologi AI. Dengan harapan menciptakan regulasi yang adil dan berkelanjutan.
(Reuters)