
DigiTripX.id – Fenomena anak remaja yang pulang larut malam, berkeliaran tanpa kontrol, semakin lazim kita saksikan hari ini. Tidak sedikit orang tua yang membiarkan, bahkan menormalisasi perilaku tersebut. Artikel ini mengkaji kegelisahan terhadap lemahnya fungsi pengasuhan keluarga dan pendidikan dalam membentuk disiplin dan karakter anak, dengan merujuk pada pemikiran psikologi perkembangan Erik Erikson, tafsir QS. At-Tahrim: 6 serta analisis sosial kontemporer.
Saat Jalanan Menjadi Rumah Kedua
Malam selalu punya dua wajah. Bagi sebagian, ia adalah waktu istirahat, saat pulang dan berkumpul dalam hangat rumah. Tapi bagi sebagian lainnya, malam adalah jalan terbuka untuk petualangan tak terkendali. Di mana batas antara kebebasan dan kebablasan makin kabur.
Hari ini, kita hidup di zaman ketika malam bukan lagi milik orang tua dan keluarga. Ia telah menjadi milik anak-anak berseragam sekolah yang berkeliaran di luar rumah hingga larut, tanpa arah yang pasti. Mereka bisa pulang pukul 10 malam, bahkan lewat tengah malam, tanpa alasan akademik yang jelas.
Aktivitasnya beragam, nongkrong di kafe, menonton bioskop, konvoi motor atau sekadar “healing” bersama teman-teman. Yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap sebagian orang tua yang justru permisif. Tidak sedikit yang mengatakan, “Namanya juga anak muda, kita dulu juga seperti itu.”
Kalimat ini, meski terdengar ringan, menyiratkan bentuk penyerahan tanggung jawab moral terhadap anak kepada arus zaman. Lalu dimana orang tua? Di mana sekolah? Di mana para pendidik dan pengayom yang dulu dipercaya menjaga akhlak anak-anak bangsa?
Baca Juga : Pulang Sebelum Gelap: Menjaga Anak di Era Kebebasan Semu!
Realitas Dulu dan Sekarang
Ada masa di mana adzan Maghrib adalah panggilan sakral yang tak hanya menyuruh salat. Tapi juga menyuruh pulang. Anak-anak terbiasa membersihkan diri, mengganti pakaian, ikut berjamaah bersama ayah dan duduk makan malam bersama ibu. Percakapan terjadi, mata bertemu mata, ada hangat yang menjadi jembatan akhlak dan cinta. Ada kedekatan emosional dan struktur disiplin yang melekat dalam kehidupan keluarga sehari-hari.
Kini, kebiasaan tersebut perlahan luntur. Perubahan zaman, gaya hidup konsumtif, dominasi media sosial serta longgarnya batas pergaulan. Telah membuat malam tidak lagi menjadi waktu untuk pulang. Tetapi justru waktu paling aktif bagi sebagian remaja. Maghrib dilompati, rumah sepi dan orang tua sibuk dengan gawai. Anak-anak mengisi ruang hampa itu dengan yang mereka anggap menyenangkan, tongkrongan, kebebasan dan pelarian dari hening yang tidak lagi hangat.
Sering, ketika kegelisahan ini dilontarkan, orang tua atau guru menjawab enteng, “Ah, dulu kita juga begitu. Anak muda, wajar mencoba.”
Tapi benarkah dulu dan sekarang adalah hal yang sama? Zaman telah berubah. Tapi nilai-nilai kebenaran tak pernah kadaluarsa. Yang berubah hanyalah keberanian kita untuk menegakkannya.
Dulu, kita hidup dalam kontrol sosial yang lebih ketat. Tetangga saling menegur, guru di hormati dan orang tua tak ragu menunjukkan batas. Sekarang, batas itu kabur. Teguran di anggap mengganggu privasi. Anak-anak punya “hak atas hidup mereka”, tapi lupa bahwa setiap hak datang dengan tanggung jawab yang harus ditanam sejak dini. Dan ketika semuanya terlambat, orang tua hanya berkata, “Kami sudah mencoba.”
Perspektif Psikologi: Krisis Identitas Remaja
Erik Erikson, dalam teorinya tentang psychosocial development, menyebut masa remaja sebagai tahap identity vs. role confusion. Anak dan remaja sangat membutuhkan struktur dan batas. Di jelaskan bahwa remaja sedang dalam tahap pencarian identitas. Tanpa bimbingan dan batas yang sehat dari orang tua, mereka bisa tersesat dalam pencarian itu.
Dalam bukunya Identity: Youth and Crisis (1968), Erikson menyatakan :
“Adolescents need models to experiment with and boundaries to push against. The absence of meaningful limits may leave them drifting without direction.”
(Erikson, 1968, hlm. 128)
Pada tahap ini, remaja berusaha menjawab pertanyaan eksistensial, “Siapa saya?”
Mereka mengeksplorasi nilai, peran dan tujuan hidup. Jika berhasil, mereka membentuk identitas yang kuat. Jika gagal, mereka mengalami kebingungan peran (role confusion), mudah terbawa arus, kehilangan arah dan rentan pada pengaruh negatif (peer pressure, kenakalan remaja dan sebagainya).
Baca Juga : Jumat Berkah SMP Telkom Makassar: Menumbuhkan Cinta di Hati Siswa!
Erikson menekankan pentingnya dukungan orang tua dan lingkungan dalam memberi struktur dan bimbingan. Kejelasan batasan sosial agar remaja tidak merasa kehilangan arah.
Membiarkan anak “mencoba segala hal” tanpa panduan dan batas hanya akan memperparah kebingungan identitas yang mereka alami. Artinya, bila remaja tidak mendapatkan rambu-rambu dan nilai-nilai dari keluarga atau sekolah, mereka akan mengalami kebingungan identitas dan mudah terseret pada perilaku berisiko seperti merokok, konsumsi alkohol, seks bebas atau penyalahgunaan narkoba.
Ketika orang tua membiarkan anak berkeliaran tanpa kontrol, anak akan mengira mereka tidak cukup penting untuk dijaga. Celah ini di masuki oleh pergaulan yang salah. Tekanan teman sebaya bahkan pelarian ke zat adiktif. Perilaku pulang larut malam menjadi gejala awal dari disorientasi tersebut.