Musim Zaman Now: Bukan Cuma Hujan & Kemarau!

DigiTripX.id – Kalau selama ini kita cuma kenal musim hujan dan kemarau (atau empat musim kalau di luar negeri), sekarang siap-siap deh buat kenalan sama “musim-musim buatan manusia”!
Yep, zaman sekarang musim nggak lagi murni dari alam. Studi terbaru dari University of York dan London School of Economics mengungkap bahwa aktivitas manusia dan perubahan iklim telah melahirkan “musim-musim baru” yang sepenuhnya antropogenik alias buatan manusia.
Musim Sampah dan Kabut Asap, Sudah Biasa?
Ambil contoh Bali. Pulau Dewata yang biasanya jadi destinasi impian ini, tiap tahun antara November sampai Maret justru kedatangan tamu tak diundang: “musim sampah”. Limbah plastik numpuk di pantai gara-gara arus laut dan pasang surut. Bukan karena alam, tapi karena pengelolaan sampah yang amburadul. Sedih, ya?
Lanjut ke Asia Tenggara lainnya, seperti Indonesia dan Malaysia, kita juga punya “musim kabut asap”. Muncul saat musim kering akibat pembakaran hutan dan lahan buat pertanian. Hasilnya? Langit kelabu, udara penuh polusi, aktivitas terganggu, dan banyak orang jatuh sakit.
Baca Juga : BRIN dan YKAN Kolaborasi Riset Satwa Langka di KalTim!
Musim Lama Menghilang, Musim Baru Muncul
Sementara musim buatan makin eksis, beberapa musim alami justru menghilang. Contohnya, burung laut di Inggris utara yang musim berkembang biaknya makin jarang, atau musim dingin di Pegunungan Alpen yang makin pendek dan nggak dingin-dingin amat.
Akibatnya? Siklus hidup tumbuhan dan hewan jadi kacau. Bahkan, migrasi satwa dan gugurnya daun tak lagi bisa diprediksi. Alam jadi bingung, kita juga ikut pusing.
Empat Tipe Musim Baru ala Para Ilmuwan
Menurut para peneliti, setidaknya ada empat jenis musim baru yang kini eksis di bumi:
-
Emergent Seasons – musim yang sebelumnya nggak pernah ada, tapi sekarang muncul.
-
Extinct Seasons – musim lama yang tiba-tiba lenyap atau berubah total.
-
Arrhythmic Seasons – musim yang datangnya nggak jelas, panjangnya pun acak.
-
Syncopated Seasons – musim yang karakter cuacanya terus berubah-ubah kayak mood mantan.
Musim-musim ini bikin cuaca makin ekstrem. Musim panas makin panjang dan panas, musim hujan makin pendek tapi deras, dan musim dingin makin singkat.
Di Thailand utara, musim tanam jadi nggak bisa ditebak. Sungai Mekong kehilangan debit air gara-gara bendungan di hulu dan perubahan pola hujan. Musim kemarau makin lama, hujan datang nggak tentu arah. Petani pun makin bingung ngatur jadwal tanam.
Solusi Adaptif Aja Nggak Cukup
Memang, beberapa solusi adaptif seperti early warning system dan alat penyaring udara udah mulai digunakan. Tapi menurut Felicia Liu dan Thomas Smith, peneliti dari York dan LSE, solusi ini belum menyentuh akar masalahnya: deforestasi, pembakaran lahan, dan eksploitasi alam.
“Kalau kita cuma bergantung pada solusi adaptif, nanti malah menganggap kabut asap itu hal biasa,” tulis mereka dalam laporan yang dikutip dari Live Science (31 Juli 2025).
Lebih parahnya lagi, orang-orang yang menuntut tanggung jawab pemerintah dan perusahaan bisa malah dianggap lebay. Padahal mereka yang justru peduli.
Saatnya Belajar dari Kearifan Lokal
Para ilmuwan menyerukan agar manusia merefleksikan ulang hubungan kita dengan alam. Kalender dan jam buatan manusia kadang menutupi kearifan lokal yang lebih nyatu dengan alam, seperti siklus bulan atau datangnya musim hujan.
Pengetahuan masyarakat adat dan kearifan lokal bisa banget jadi sumber inspirasi buat menyusun strategi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan dalam menghadapi krisis iklim ini.