DigiTripX.id – Di banyak sekolah hari ini, kita melihat pemandangan yang sudah dianggap “biasa”, siswa yang bahkan belum berusia 17 tahun datang ke sekolah mengendarai sepeda motor. Ada yang motornya metik, tipe sport serta ada juga yang sudah dimodifikasi.
Padahal, kalau kita buka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, aturannya jelas :
Pengendara kendaraan bermotor wajib memiliki SIM, dan SIM hanya bisa diterbitkan untuk usia 17 tahun ke atas.
Namun realitasnya berbeda. Banyak orangtua justru memberikan motor kepada anak-anak mereka dengan berbagai alasan seperti “Jauh kalau antar. Orangtua juga harus kerja”, “Dia sudah bisa bawa motor kok”, “Kalau naik ojek online mahal” atau “Biar dia mandiri.” Sekilas, alasan‐alasan tersebut terdengar logis. Tetapi ada satu hal yang sering terlupakan, ada risiko nyawa di balik setiap keputusan itu.
Usia Belum 17 Tahun = Emosi Belum Stabil
Para ahli perkembangan remaja mengatakan bahwa pada usia 12-16 tahun, otak bagian prefrontal cortex (bagian otak yang mengatur pertimbangan risiko, kontrol emosi dan kemampuan mengambil keputusan) belum berkembang sempurna. Artinya ?
Remaja pada usia tersebut cenderung mudah terpengaruh teman, suka mencoba hal baru demi pengakuan, impulsif (bertindak dulu, mikir belakangan) serta suka kecepatan dan tantangan. Gabungan dari sifat-sifat ini sangat berbahaya jika dipadukan dengan kendaraan bermotor.
Maka tidak heran, kecelakaan lalu lintas menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi remaja di Indonesia. Dan sebagian besar korbannya adalah pengendara tanpa SIM.
Baca Juga : Jumat Berkah SMP Telkom Makassar: Menumbuhkan Cinta di Hati Siswa!
Tren Balap Liar, Geng Motor dan Konten Media Sosial
Saat ini anak-anak kita hidup di era ketika pengakuan sosial sering dianggap lebih penting daripada keselamatan. Anak remaja berlomba membuat konten seperti ngebut di jalan raya, boncengan tiga orang, memodifikasi knalpot atau nongkrong sampai larut sambil membawa motor.
Semuanya demi views dan komentar yang kelihatan keren.
Padahal, aksi seperti itu bisa berakhir di puskesmas, rumah sakit atau bahkan di kamar jenazah. Remaja sangat mudah meniru tren, walau tren tersebut membahayakan.
Sebuah Mitos – “Saya Bisa Bawa Motor Kok!”
Banyak orangtua percaya bahwa kalau anak sudah bisa “mengendalikan motor” berarti aman. Padahal, mengendalikan motor ≠ memahami risiko lalu lintas.
Bisa mengendalikan motor itu adalah kemampuan fisik. Tapi menyadari bahaya, mengantisipasi kondisi jalan, membaca situasi dan mengontrol emosi adalah kemampuan mental yang baru matang setelah usia 17 tahun ke atas. Remaja sering merasa dirinya hebat di jalan. Padahal mereka belum mampu menangani situasi seperti mobil tiba-tiba berhenti, rem mendadak, jalan licin, pengendara lain yang tidak taat aturan atau situasi konflik di persimpangan.
Oleh karena itu kecelakaan yang terjadi bukan karena mereka tidak bisa naik motor, tetapi karena mereka tidak siap menghadapi kondisi jalan yang tak terduga.
Orangtua Memberi Motor = Memberi Risiko
Orangtua sering berpikir memudahkan anak dengan memberi motor. Namun tanpa disadari, mereka sedang memberikan risiko kecelakaan, risiko berurusan dengan hukum, risiko bergabung dengan pergaulan negative bahkan risiko kehilangan nyawa. Tidak ada alasan praktis yang sebanding dengan keselamatan anak.
Aturan Sekolah Melarang = Karena Sekolah Menjaga
Banyak sekolah, termasuk sekolah kita, menetapkan aturan dimana siswa di bawah usia 17 tahun dilarang membawa kendaraan bermotor ke sekolah. Aturan ini bukan dibuat untuk mempersulit, tetapi untuk melindungi. Sekolah tahu betul risiko yang mengintai di jalan. Sekolah ingin memastikan bahwa siswa datang dan pulang dengan selamat.
Sebab tugas utama sekolah bukan hanya mengajar, tetapi juga menjaga.
Untuk Siswa: Jadi Generasi Keren Tanpa Motor Dulu
Kita paham, remaja ingin dianggap mandiri. Tapi menjadi mandiri bukan berarti harus bawa motor. Anak yang benar-benar “keren” adalah yang menaati aturan, yang tidak menempatkan dirinya dalam bahaya, yang menghargai nyawa pemberian Tuhan dan yang berani berkata “Tidak” pada ajakan berisiko.
Siswa masih punya banyak waktu untuk naik motor tapi tunggulah sampai waktunya tiba. Dan ketika waktunya tiba, kalian bisa mengendarainya dengan aman, legal dan bertanggung jawab.
Baca Juga : Disiplin VS Identitas: Aturan Rambut Siswa Relevan di Dunia Pendidikan
Untuk Orangtua: Keselamatan Adalah Hadiah Terbesar
Mobil dan motor bisa dibeli lagi. Tapi anak? Hanya satu dan tak tergantikan. Terkadang, orangtua berpikir memberikan motor adalah solusi. Namun solusi yang memperpendek risiko keselamatan bukanlah Solusi, itu jebakan.
Mari kita renungkan bahwa tidak ada orangtua yang ingin menyesal setelah kehilangan. Sesungguhnya penyesalan di akhir selalu datang terlambat.
Jalan Tengah: Solusi Aman Tanpa Motor
Jika alasan memberi motor adalah soal jarak atau waktu, ada banyak alternatif, misalnya berangkat bersama tetangga (carpool), naik kendaraan umum atau ojek online, ikut antar jemput sekolah, orangtua mengatur waktu antar-pulang secara bergiliran dengan pasangan, berjalan kaki atau bersepeda jika jarak memungkinkan atau meminta izin masuk lebih pagi bila orangtua harus bekerja lebih awal.
Pilihan selalu ada. Tetapi yang paling penting adalah pilih yang aman.
Mari Jagai Masa Depan Anak-Anak Kita
Sekolah, siswa, dan orangtua harus bergerak bersama. Tujuannya bukan menghambat kenyamanan, tetapi menjaga keselamatan.
Biarkan anak-anak kita tumbuh sesuai tahapnya. Biarkan mereka naik motor ketika sudah waktunya, ketika mereka siap secara fisik, mental dan hukum. Keselamatan bukan hanya aturan, tapi bentuk cinta.



