Tech

AI vs Peringatan IMF: “Gelembung Dot-Com” Era Digital Terulang?

DigiTripX.id – Gengs, lihat nggak sih? Dunia lagi demam keras sama yang namanya Kecerdasan Buatan atau AI. Teknologi ini ibarat ‘harta karun’ baru yang di perebutin semua orang, dari raksasa teknologi sampai negara-negara besar. AS dan China aja sampe saling blokir buat urusan yang satu ini. Semua sibuk bangun infrastruktur buat dukung inovasi AI di mana-mana.

Nih, buat bayangin gede skalanya, Citigroup aja baru aja naikin proyeksi belanja infrastruktur AI global. Mereka perkirain angkanya bakal tembus US$2,8 triliun atau sekitar Rp46.000 triliun sampai tahun 2029! Gila, kan?

Tapi, di balik euforia dan duit yang melimpah, ada peringatan serius nih dari ‘pak tua’ di dunia keuangan, Dana Moneter Internasional (IMF). Mereka ngomong, fenomena AI ini berisiko berakhir kayak gelembung dot-com yang meletus di akhir tahun 1990-an. Waktu itu, banyak perusahaan internet yang tiba-tiba kolaps karena valuasinya nggak nyata.

Mirip Tapi Tak Sama

Kepala Ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, ngasih penjelasan. Katanya, emang ada kemiripan sama era dot-com dulu. “Valuasi saham melonjak, kekayaan kapital meningkat, konsumsi tumbuh, dan tekanan inflasi ikut terdorong,” ujarnya dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington, seperti di kutip Reuters, Rabu (15/10/2025).

Tapi, tenang dulu. Gourinchas ngegas bahwa situasi kali ini beda. Kunci perbedaannya ada di cara dananya dikumpulin. Kalau dulu banyak yang pakai utang, investasi AI sekarang ini didanai dari duit tunai perusahaan teknologi besar sendiri yang lagi ‘gemuk’. Jadi, meski ada koreksi pasar dan ada pemegang saham yang buntung, efeknya nggak bakal nular ke sistem keuangan atau perbankan global kayak krisis 2008.

Baca Juga : ASI Bakal Jadi Kenyataan pada 2030? Ini Kata CEO Zhipu AI

Investasi Gede-gedean, Tapi Produktivitas?

Memang, perusahaan teknologi lagi ‘sakit duit’ buat AI. Mereka gelontorin ratusan miliar dolar AS buat beli chip, bangun pusat data, dan infrastruktur komputasi lainnya. Tujuannya jelas: ngejar teknologi yang diyakini bisa lipatgandakan produktivitas.

Nah, ini yang jadi catatan penting dari IMF: keuntungan ekonomi dari AI itu belum benar-benar kelihatan. Sama persis kayak zaman dot-com dulu, di mana nilai saham perusahaan internet melambung tinggi tapi nggak diimbangi pendapatan riil. Alhasil, pas gelembungnya meletus tahun 2000, AS sempet masuk resesi ringan di 2001.

Untungnya, skala demam AI sekarang disebutin masih lebih kecil. Data IMF nunjukkin, investasi AI cuma naik kurang dari 0,4% dari PDB AS sejak 2022. Sedangkan zaman jaya-jayanya dot-com dulu, kenaikannya bisa nyampe 1,2% antara 1995-2000.

Dampak ke Ekonomi Global: Bikin Tumbuh, Tapi Juga Panas

Dalam laporan terbarunya, World Economic Outlook, IMF ngakuin bahwa ledakan investasi AI ini adalah salah satu faktor yang menjaga pertumbuhan ekonomi AS dan global di tahun ini.

Tapi, dampak positif ini datang dengan ‘konsekuensi panas’. Permintaan tinggi di sektor AI ini ikut mendorong tekanan inflasi. Gourinchas nyinyir nih, investasi dan konsumsi di sektor AI udah tinggi, tapi peningkatan produktivitasnya belum kelihatan. Sementara itu, investasi di sektor lain malah menurun karena ketidakpastian kebijakan tarif impor di AS.

Alhasil, IMF sekarang perkirain inflasi harga konsumen AS cuma bakal turun dikit jadi 2,7% di 2025 dan 2,4% di 2026. Angka ini lebih tinggi dari prediksi tahun lalu yang ngarepin inflasi balik ke 2% di tahun ini. Selain efek AI, tekanan inflasi juga dateng dari berkurangnya imigrasi (yang bikin pasokan tenaga kerja seret) dan efek tertunda dari tarif impor. AI emang janjiin ‘harta karun’, tapi kita harus tetap waspada.

Digitripx

Your Digital Destination. Channel Youtube : DigiTripX Media

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button