Interest

Mencari Nirwana Keadilan Fiskal: Tarif Pajak, Fasilitas Pejabat, dan Gelombang Aspirasi Publik!

DigiTripX.id – Dalam geliat perekonomian nasional, pajak penghasilan (PPh) berdiri sebagai pilar utama penerimaan negara. Kebijakan perpajakan suatu bangsa bukan hanya soal angka, tetapi juga cerminan dari prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial bersama.

Di Indonesia, wacana mengenai keadilan fiskal ini kembali mencuat seiring dengan adanya sejumlah aksi demonstrasi yang menyuarakan evaluasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Termasuk di dalamnya tata kelola perpajakan.

Sebagai informasi, Indonesia menerapkan sistem tarif progresif untuk PPh orang pribadi yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008. Tarifnya berkisar dari 5% untuk penghasilan tahunan di bawah Rp 60 juta, hingga mencapai 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Dalam sistem ini, setiap warga negara, dari karyawan swasta hingga profesional, diwajibkan menyetorkan kewajiban pajaknya.

Fasilitas Pajak untuk Pejabat Negara dalam Sorotan

Yang menjadi bahan perdebatan publik adalah kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2010. Aturan ini menetapkan bahwa Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/Polri, dan Pegawai Tidak Tetap lainnya yang dibiayai oleh APBN/APBD, dipotong dan dibayarkan langsung oleh negara melalui instansi yang membayarkan gajinya.

Pada praktiknya, kebijakan ini sering disederhanakan dengan istilah “pajak penghasilan pejabat dibayar oleh negara”. Hal ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk para pengunjuk rasa yang menuntut keadilan ekonomi. Seorang peneliti dari Celios, Askar, menilai pemerintah perlu merevisi PP tersebut demi menciptakan keadilan fiskal.

“Di Indonesia, pejabat negara itu tidak sepenuhnya bayar pajak karena pemerintah memberikan fasilitas yang pajak penghasilannya dibayar oleh negara. Ini berbeda dengan pegawai swasta biasa yang bahkan bergaji kecil, tapi pajak penghasilannya tetap wajib dibayarkan,” ujarnya, seperti dikutip dalam pemberitaan sebelumnya.

Askar berargumen bahwa pejabat dengan gaji puluhan hingga ratusan juta per bulan seharusnya mampu memenuhi kewajiban perpajakannya secara mandiri. Pencabutan fasilitas ini dinilai dapat meringankan beban APBN dan menegaskan prinsip kesetaraan di hadapan hukum pajak.

Baca Juga : Tragedi Pejompongan: Ojol Tewas Tertabrak Rantis Brimob di Tengah Demo!

Lanskap Global: Tarif Tinggi dan Kewajiban Individu

Lantas, bagaimana praktiknya di negara lain? Data dari Trading Economics menunjukkan besaran tarif pajak penghasilan tertinggi (top rate) di berbagai negara.

Sepuluh Negara dengan Tarif Pajak Penghasilan Tertinggi:

Finlandia: 56.95%

Denmark: 55.9%

Jepang: 55.95%

Austria: 55%

Swedia: 52%

Aruba: 52%

Belgia: 50%

Israel: 50%

Slovenia: 50%

Belanda: 49.5%

Sepuluh Negara dengan Tarif Pajak Penghasilan Terendah:

Guatemala: 7%

Bosnia & Herzegovina: 10%

Bulgaria: 10%

Kazakhstan: 10%

Kosovo: 10%

Libya: 10%

Makedonia: 10%

Rumania: 10%

Serbia: 10%

Makau: 12%

Yang perlu dicermati, tingginya tarif pajak di negara-negara Eropa Skandinavia seperti Denmark dan Swedia biasanya berbanding lurus dengan luasnya jaminan sosial yang diberikan negara kepada warganya, seperti pendidikan dan kesehatan gratis yang berkualitas. Selain itu, di banyak negara maju tersebut, kebijakan ‘pajak dibayar negara’ untuk pejabat tinggi bukanlah hal yang lazim. Setiap individu, termasuk para pejabat publik, menanggung dan menyetorkan kewajiban pajaknya secara pribadi berdasarkan penghasilan mereka, sebagaimana disampaikan oleh peneliti Celios.

Menuju Keadilan yang Substansial

Perbandingan ini bukan untuk menyimpulkan bahwa tarif Indonesia harus disamakan dengan negara lain. Setiap negara memiliki konteks sosial, ekonomi, dan kontrak sosialnya sendiri. Namun, hal ini membuka ruang diskusi: apakah kebijakan fiskal kita sudah bergerak ke arah prinsip keadilan yang substantif?

Aspirasi yang disuarakan dalam demonstrasi-demonstrasi tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari kontrol sosial warga negara terhadap kebijakan publik. Mereka menyoroti pentingnya kesetaraan, dimana setiap lapisan masyarakat, tanpa terkecuali para pejabat negara, merasakan tanggung jawab yang sama dalam membangun negeri melalui kontribusi perpajakan.

Pembahasan revisi PP No. 80/2010 bukan tentang mempersulit pejabat, tetapi tentang menata ulang kebijakan agar lebih berkeadilan, transparan, dan mencerminkan nilai-nilai gotong royong yang menjadi jiwa bangsa Indonesia. Pada akhirnya, sistem perpajakan yang adil akan memperkuat legitimasi pemerintah dan memupuk kepercayaan publik, yang merupakan pondasi kokoh bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Digitripx

Your Digital Destination. Channel Youtube : DigiTripX Media

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button