
DigiTripX.id – Kalau kamu pikir Kabupaten Maros cuma punya pemandangan keren dan tempat healing, siap-siap terpukau. Ternyata, Maros bukan sekadar destinasi wisata alam, tapi juga pusat peradaban manusia purba dunia! Serius.
Hal itu ditegaskan dalam Konferensi Internasional Gau Maraja Leang-Leang Maros 2025 yang dibuka oleh Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon pada 3 Juli 2025 di Kabupaten Maros. Konferensi ini merupakan bagian dari perayaan budaya akbar Gau Maraja serta Hari Jadi Kabupaten Maros ke-66, yang dihelat dengan Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), Pemerintah Kabupaten Maros, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, dan Persatuan Wija Raja La Patau Matanna Tikka (Perwira LPMT).
Mengusung tema “Leang-Leang Maros as The Gateway to Ancient Human Civilization in The World”, acara ini menghadirkan para pembicara dari dalam dan luar negeri. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah Prof. Adam Brumm, arkeolog top asal Griffith University, Australia.
Maros: Bukan Sekadar Kabupaten, Tapi Laboratorium Peradaban Dunia!
Dalam sambutannya, Fadli Zon dengan tegas menyatakan bahwa Maros bukan hanya warisan Indonesia, tetapi warisan dunia. “Lukisan cadas tertua dunia itu ada di sini, bukan di Eropa, bukan di Afrika. Tepatnya di Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan,” ujarnya lantang, disambut tepuk tangan para hadirin.

Tak hanya lukisan gua berusia 51.000 tahun, tapi juga penemuan liontin tulang kuskus purba (22.000 tahun) dan rangka manusia purba (2.700 tahun) menegaskan bahwa kawasan ini adalah surga arkeologi dunia. Bahkan, lebih dari 60% fosil manusia purba Homo Erectus di temukan di Indonesia.
Dari Sulawesi ke Dunia: Indonesia, Pusat Peradaban Tertua?
Dalam pemaparannya, Fadli Zon berani mengusulkan hipotesis menarik: bahwa migrasi manusia justru bisa jadi berasal dari Nusantara ke berbagai penjuru dunia. Ia menyebutkan ekspresi budaya seperti lukisan perahu yang ditemukan di Maros sebagai petunjuk bahwa masyarakat Indonesia kuno telah memiliki teknologi maritim ribuan tahun yang lalu.
Namun, ia mengingatkan bahwa semua itu masih butuh riset multidisiplin yang serius. “Kalau kita ingin budaya ini tetap hidup, maka harus relevan. Budaya tak cukup ditampilkan di panggung, tapi harus hidup di hati anak muda,” ujarnya. Maka muncullah gagasan penting: digitalisasi budaya, revitalisasi bahasa daerah, dan kolaborasi lintas generasi.
Prof. Adam Brumm: Leang-Leang Lebih Bernilai dari Monalisa

Salah satu momen yang mencuri perhatian adalah pemaparan dari Prof. Adam Brumm, arkeolog asal Griffith University, Australia. Dalam nada serius tapi penuh semangat, ia berkata:
“Lukisan gua di Leang-Leang jauh lebih penting dari Monalisa. Monalisa penting untuk Eropa, tapi Leang-Leang adalah sejarah umat manusia.”

Pada kesempatan ini Prof. Adam Brumm memberikan apresiasi kepada pak Budianto Hakim dari Brin, Iwan Sumantri dari Unhas, Basran Burhan dari Griffith university dan Dr. Adhi Agus Oktaviana dari Griffith University dan Brin. yang telah bekerjasama dengan beliau pada penelitiaanya di Kabupaten Maros.
Prof. Adam Brumm yang juga Direktur di Australian Research Centre for Human Evolution, adalah nama besar dalam dunia arkeologi. Ia bersama timnya pernah meneliti Homo floresiensis (The Hobbit) di Flores dan kerap berkolaborasi dengan ilmuwan Indonesia. Penelitiannya bahkan sering muncul di jurnal prestisius seperti Nature.
Kolaborasi Hebat dari Berbagai Pihak
Konferensi ini sukses terselenggara berkat sinergi luar biasa antara Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Makassar, Pemerintah Kabupaten Maros, Persatuan Wija Raja La Patau Matanna Tikka (Perwira LPMT), dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Komunitas seperti Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) pun ikut bangga bisa ambil bagian.
Salah satu dosen FIB Unhas, Prof. Dr. Akin Duli, M.A., menekankan pentingnya budaya literasi sebagai basis pendidikan dan kesadaran sejarah. Menurutnya, pemahaman budaya sejak dini dapat menumbuhkan rasa bangga sebagai bagian dari peradaban besar.
Tantangan Ke Depan: Antara Tambang dan Ketahanan Budaya
Namun, kemajuan budaya bukan tanpa tantangan. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam menjadi ancaman nyata bagi kawasan karst Leang-Leang. Maka, diperlukan desain penyelamatan berbasis riset dan partisipasi global untuk melindungi warisan ini.
Menteri Fadli Zon mengingatkan, “Maros bukan hanya milik kita. Ia milik dunia. Maka kewajiban kita menjaganya adalah tanggung jawab bersama.”
Saatnya Maros Bicara di Panggung Dunia
Gau Maraja 2025 bukan sekadar perayaan budaya, tetapi momentum untuk menyuarakan bahwa Indonesia bukan penonton sejarah, melainkan pelaku utama peradaban dunia. Leang-Leang adalah pintu masa lalu yang membuka wawasan masa depan.
Jadi, masihkah kamu memandang lukisan gua hanya sebagai coretan kuno? Bisa jadi, itu adalah “Instagram story”-nya manusia purba yang ingin bicara pada kita hari ini—bahwa mereka pernah ada, pernah berkarya, dan meninggalkan jejak luar biasa di balik dinding batu Maros.