
DigiTripX.id – Sampah luar angkasa di orbit rendah Bumi (Low Earth Orbit/LEO) semakin menjadi perhatian serius. Insiden pecahnya satelit Intelsat 33e pada 19 Oktober 2024 menambah kekhawatiran akan risiko yang di timbulkan. Satelit tersebut di laporkan pecah menjadi sekitar 20 fragmen, menyebarkan puing-puing di wilayah orbit yang sudah padat, menurut laporan Komando Luar Angkasa Amerika Serikat.
Penyebab kerusakan satelit itu belum diketahui, tetapi para ahli memperingatkan ancaman nyata dari peningkatan sampah luar angkasa. Fenomena ini berpotensi memicu Sindrom Kessler, yakni reaksi berantai tabrakan antar-puing yang bisa membuat eksplorasi luar angkasa dan peluncuran satelit baru menjadi mustahil.
“Jika probabilitas tabrakan terlalu tinggi sehingga kita tidak bisa lagi meluncurkan satelit, maka itu akan menjadi masalah besar,” kata John L. Crassidis, ahli sampah luar angkasa dari Universitas Buffalo, seperti di kutip dari Earth.com pada Selasa (7/1/2025).
Orbit Rendah Bumi dalam Risiko Tinggi
LEO, yang berada di ketinggian 160–2.000 kilometer dari permukaan Bumi, menjadi jalur utama bagi satelit komunikasi, cuaca, dan stasiun luar angkasa. Orbit ini sangat strategis karena memungkinkan satelit mengelilingi Bumi dalam waktu sekitar 90 menit, sehingga cocok untuk kebutuhan modern.
Namun, kepadatan satelit aktif di LEO terus meningkat. Saat ini, lebih dari 10.000 satelit aktif mengorbit Bumi, termasuk sekitar 6.800 satelit milik Starlink dari SpaceX. Hal ini memperbesar risiko tabrakan.
Baca Juga : Hidup di Dunia Simulasi? Profesor Fisika Ini Punya Teori Menarik!
Menurut Bill Therien, Chief Technology Officer di ExoAnalytic Solutions, puing-puing ruang angkasa yang terlacak beragam ukurannya, mulai dari sebesar bola sofbol hingga sebesar pintu mobil. “Setiap potongan puing yang cukup besar dapat menyebabkan kerusakan fatal pada satelit aktif,” ujarnya.
Dampak pada Kehidupan Modern
Kepadatan sampah luar angkasa ini mengancam layanan penting seperti GPS, internet, dan televisi. Gangguan pada satelit akibat tabrakan dapat menciptakan dampak luas pada kehidupan sehari-hari, mulai dari transportasi hingga komunikasi global.
Jika masalah ini di biarkan, para ahli memperkirakan dampaknya tidak hanya akan menghambat eksplorasi luar angkasa, tetapi juga mengganggu fungsi-fungsi kritis yang menopang peradaban modern.
Solusi dan Tantangan
Berbagai pihak kini berlomba mencari solusi. Badan Antariksa Eropa (ESA) melalui proyek Clearsat-1 bekerja sama dengan startup Swiss, ClearSpace, untuk menangkap satelit yang tidak lagi berfungsi dan menurunkannya ke atmosfer.
Namun, upaya ini menghadapi kendala besar. ESA memperkirakan ada lebih dari 40.500 potongan puing berukuran lebih dari 10 sentimeter yang harus dilacak secara rutin. Bob Hall, Direktur di COMSPOC Corp, menegaskan bahwa teknologi pelacakan saat ini masih memiliki keterbatasan, terutama untuk mendeteksi puing-puing kecil.
Urgensi Regulasi Internasional
Para ahli mendesak perlunya regulasi internasional yang mengikat untuk mengatasi masalah ini. “Kekhawatiran terbesar adalah kurangnya regulasi yang jelas dan tegas,” ujar Dr. Vishnu Reddy, profesor ilmu planetaria dari Universitas Arizona.
Tanpa regulasi dan tindakan nyata, risiko Sindrom Kessler dapat menjadi kenyataan, mengancam keberlanjutan eksplorasi luar angkasa dan fungsi teknologi penting di Bumi.
Masalah sampah luar angkasa kini menjadi isu global yang tidak bisa diabaikan. Kerja sama lintas negara dan pengembangan teknologi mitigasi menjadi kunci untuk menjaga masa depan eksplorasi luar angkasa sekaligus melindungi kehidupan modern yang bergantung pada satelit.
Sumber: Earth.com, ESA, ExoAnalytic Solutions