Donald Trump Tunjuk Pete Hegseth “Menteri Pertahanan AS”
DigiTripx.id – Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali membuat gebrakan dengan menunjuk Pete Hegseth sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinetnya yang tengah di susun. Hegseth, seorang veteran militer dan pembawa acara di Fox News, di kenal karena pandangan pro-Israel dan sikap kerasnya terhadap Iran.
Trump memuji Hegseth sebagai sosok yang tangguh, cerdas, dan sejati dalam mengusung prinsip “America First”. “Buku best seller-nya, The War on Warriors: Behind the Betrayal of the Men Who Keep Us Free, mengungkapkan pengkhianatan sayap kiri terhadap pejuang kita dan bagaimana kita harus mengembalikan militer kita ke meritokrasi, efektivitas, akuntabilitas, dan keunggulan,” ujar Trump.
Profil Pete Hegseth: Dari Medan Perang ke Layar Televisi
Setelah lulus dari Universitas Princeton pada 2003, Hegseth bergabung dengan militer sebagai kapten infanteri di Garda Nasional Angkatan Darat. Ia bertugas di Afghanistan, Irak, dan Teluk Guantanamo, menerima dua Medali Bintang Perunggu atas pengabdiannya.
Usai dinas militer, Hegseth mencoba peruntungan politik dengan mencalonkan diri sebagai senator di Minnesota pada 2012, meski akhirnya tidak terpilih. Kariernya berlanjut di dunia media ketika ia bergabung dengan Fox News pada 2014 sebagai kontributor. Kini, ia dikenal sebagai pembawa acara Fox and Friends Weekend dan Fox Nation.
Baca Juga : Presiden Prabowo Ke Beijing, Isu Laut China Selatan Memanas!
Pandangan Politik dan Kontroversi
Dukungan Kuat terhadap Israel
Hegseth secara terbuka mendukung Israel dalam konflik di Gaza, bahkan menyebut solusi dua negara sebagai “omong kosong”. Ia memproduksi serial “Battle in the Holy Land: Israel at War”, yang mendokumentasikan perang Israel di Gaza, dan mewawancarai Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Maret lalu.
“Israel membutuhkan dukungan kita!” tulisnya di platform media sosial X. Sebagai seorang Kristen evangelis, Hegseth melihat konflik Israel-Palestina melalui perspektif Alkitab. “Ini adalah kisah tentang umat pilihan Tuhan yang masih relevan hingga kini,” ujarnya dalam wawancara dengan Jewish Press pada 2016.
Sikap Keras terhadap Iran
Setelah kematian Jenderal Qassem Soleimani, komandan Pasukan Quds Iran, pada 2020, Hegseth menyebut Teheran sebagai “rezim jahat”. Pandangannya yang tegas mencerminkan sikapnya terhadap ancaman yang ia yakini datang dari Iran terhadap kepentingan AS dan sekutunya.
Kritik terhadap NATO dan Sekutu Eropa
Hegseth juga vokal mengkritik sekutu AS dalam NATO. Dalam bukunya, ia mempertanyakan mengapa Amerika harus terus menjadi “nomor kontak darurat” bagi Eropa yang menurutnya “ketinggalan zaman” dan “tidak berdaya”. “Mereka menghancurkan militer mereka sendiri dan berteriak kepada Amerika untuk meminta bantuan,” tulisnya.
Ia menilai invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 sebagai “perang balas dendam Putin”, sejalan dengan kritik Trump terhadap bantuan AS kepada Kyiv. “Jika Ukraina dapat mempertahankan diri, bagus. Tetapi saya tidak ingin intervensi Amerika masuk jauh ke Eropa dan membuat (Putin) merasa sangat tertindas,” kata Hegseth.
Peringatan tentang Ancaman China
Di Asia Pasifik, Hegseth memperingatkan bahwa China sedang membangun militer yang “didedikasikan khusus untuk mengalahkan AS”. Dalam sebuah podcast pekan lalu, ia menyatakan, “Mereka memiliki pandangan jangka panjang tentang dominasi regional dan global, dan kita tidak punya pilihan lain selain waspada.”
Implikasi bagi Kebijakan Pertahanan dan Luar Negeri AS
Penunjukan Pete Hegseth dipandang sebagai langkah yang akan membawa perubahan signifikan dalam kebijakan pertahanan dan luar negeri AS. Dengan pandangannya yang keras terhadap Iran, skeptisisme terhadap NATO, dan perhatian khusus pada ancaman China, kebijakan pertahanan AS di bawah Hegseth kemungkinan akan lebih agresif dan berfokus pada kepentingan nasional.
Penunjukan Pete Hegseth sebagai Menteri Pertahanan oleh Donald Trump menandai era baru dalam politik pertahanan AS. Dengan latar belakang militer dan pandangan kontroversialnya, Hegseth diharapkan dapat membawa reformasi yang dianggap perlu oleh pemerintahan Trump. Namun, hanya waktu yang akan menjawab bagaimana kepemimpinannya akan mempengaruhi posisi AS di panggung global.