DigiTripX.id – Pernah dengar istilah lavender marriage? Akhir-akhir ini, media sosial lagi heboh banget bahas topik yang satu ini. Yuk kita bahas apa sih sebenarnya lavender marriage itu!
Apa Itu Lavender Marriage?
Dilansir dari Marriage.com, lavender marriage adalah pernikahan antara pria dan wanita di mana salah satu atau bahkan keduanya adalah homoseksual atau lesbian. Nah, pernikahan ini sering di jadikan cara untuk menyembunyikan orientasi seksual mereka yang sebenarnya dari tekanan sosial dan norma masyarakat.
Kenapa Orang Melakukan Lavender Marriage?
Banyak nih, public figure yang di duga menjalani lavender marriage demi menjaga karier dan reputasi mereka. Mereka menikah bukan karena cinta sejati, tapi lebih karena kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial. Jadi, semacam strategi biar tetap eksis tanpa harus mengungkap identitas asli mereka.
Baca Juga : Tips Parenting Asyik untuk Ibu Muda: Jadi Mom yang Keren Yuk!
Asal Usul Istilah ‘Lavender’
Kenapa disebut lavender? Warna lavender itu campuran yang sering dikaitkan dengan gender dan orientasi seksual dalam budaya populer. Jadi, istilah ini pas banget buat menggambarkan perpaduan identitas dalam pernikahan tersebut.
Tantangan dalam Lavender Marriage
Pasangan yang menjalani lavender marriage harus berjuang dengan perbedaan antara citra publik dan identitas pribadi mereka. Kebayang kan, betapa beratnya hidup dalam “dua dunia”? Hal ini bisa menyebabkan tekanan emosional serius, seperti kecemasan, depresi, atau bahkan krisis identitas.
Dampak pada Anak-Anak
Kalau ada anak dalam pernikahan ini, mereka juga nggak luput dari tantangan. Mulai dari memahami dinamika keluarga yang rumit hingga menghadapi stigma sosial. Lingkungan seperti ini bisa bikin mereka merasa bingung, tertekan, dan mempertanyakan identitas serta hubungan dalam keluarga.
So, What Now?
Fenomena lavender marriage muncul karena adanya tekanan sosial yang bikin seseorang merasa harus menyembunyikan jati diri mereka. Sebagai generasi muda yang open-minded, penting nggak sih, buat kita menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Biar setiap orang bisa jadi diri sendiri tanpa harus pakai topeng, tapi kembali lagi masyarakat dapat menerima atau tidak.